19 Feb 2013

Jual Rumah? Yang Jujur Ya

Ada yang pernah jual rumah ? Kali ini saya mau cerita dikit tentang pengalaman saya jual rumah. Well, bukan saya sih yang jual, tapi orang tua saya. Berhubung saya ikut terlibat ya jadinya saya anggap pengalaman juga, hehehe.


Dua tahun yang lalu saya punya rumah di daerah Cibubur, Jakarta Timur. Rumah itu kami tinggali selama 3 tahun, tapi kemudian karena ada perubahan komposisi penghuni rumah (saya balik ke Jakarta, adik saya mulai kuliah di Jogja, dan ayah saya pindah ke Riau), keluarga kami memutuskan untuk pindah rumah.

Waktu itu saya diminta bapak untuk menjual rumah itu. Maka dua langkah yang diinstruksikan pada saya: 1) pasang iklan di Koran W**ta**ta dan 2) pasang iklan di internet. Maka demikianlah titah itu saya laksanakan.

Ternyata setelah dievaluasi, koran mampu menarik calon pembeli lebih cepat. Banyak telepon di awal masa pemasangannya datang dari pembaca koran. As usual, mereka bertanya tentang lokasi, luas bangunan, jumlah kamar, sertifikat, dan harga. Perlu teman-teman ketahui, obrolan tentang harga itu mempengaruhi jalannya percakapan. Ya begitulah, telepon demi telepon diterima oleh bapak saya. Tapi ternyata belum kunjung menemukan pembeli serius yang membuat janji untuk melihat rumah secara langsung. Karena iklan koran memakan biaya per penayangan, keluarga kami tidak berlama-lama promosi di media ini.

Berikutnya, tentang iklan lewat internet yang ternyata membutuhkan waktu lebih lama daripada iklan internet. Di mode promosi ini saya bertindak lebih semangat. Saya foto baik-baik rumah saya, saya kasih deskripsi selengkap-lengkapnya tentang kondisi rumah, dan tentu nomor kontak yang bisa dihubungi.


Lewat 3 bulan, ada calon pembeli yang menghubungi. Yang menarik adalah, dia memilih rumah ini karena publikasinya yang jujur. Ya, saya menuliskan deskripsi kekurangan rumah juga: keran atas yang bocor sehingga kamar mandi dari kamar utama tidak bisa digunakan.

Orang itu menelepon ayah saya, seperti yang sebelumnya, menanyakan hal yang umum bagi pembeli rumah tapi kemudian dia menyusun janji (yeey). Jadilah kedua orang tua saya bertemu dengan si calon pembeli itu. Dua orang usia senja yang ditemani oleh anaknya (yang kelihatannya sudah berusia 30an). Ketiganya lalu dibawa ibu-bapak saya melihat isi rumah, termasuk kekurangan rumah yang saya sebutkan di internet.

Setelah melihat-lihat anak dari calon pembeli mengatakan pada orangtua nya bahwa rumah ini butuh perbaikan tapi masih dalam batas yang bisa mereka toleransi. Tentu hal ini membawa harapan pada kedua orangtua saya.

Benar saja, selang beberapa hari, anak dari calon pembeli itu kemudian menghubungi ayah saya lagi untuk membicarakan harga, pembayaran, dan pengurusan akta notaris. Maka segera saja rumah itu berpindah tangan.

Dari sini barulah saya tahu caranya menjual rumah di internet: berikan foto rumah dan lingkungannya, sampaikan harga dengan jujur, dan beri deskripsi yang diperlukan oleh calon pembeli. Bagaimanapun perkara rumah, kebanyakan pembelinya adalah keluarga yang sungguh-sungguh memikirkan kehidupannya. Kita hargai mereka dengan beriklan secara jujur, dan mereka akan menghargai kita dengan pembeliannya. So, mulai sekarang ayo berjuang, berusaha menjadi pengusaha yang jujur :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar