29 Agu 2010

Jogja Lagi

Bismillahirohamanirrahim

Tripartit, wao, alhamdulillah bisa juga akhirnya dapat beasiswa. Setelah beberapa kali disindir bapak karena sampai semester lima belum pernah dapat beasiswa, akhirnya kesempatan itu datang. Temanku di Sipil UI 2008, Febriansyah Pasaribu, menawarkan aku untuk ikut pertukaran pelajar Tripartit. Tripartit itu "persekongkolan" nya Departemen Teknik Sipil UI, ITB, dan UGM. Istilahnya kerja sama di bidang keilmuan. Tiga universitas itu saling kirim mahasiswa untuk belajar di universitas mitra selama satu semester.

Febri ini sudah diterima lebih dulu di Tripartit, lewat proses seleksi yang lumayan lama. Aku juga dulu sempat daftar Tripartit, tapi mundur karena dapat amanah di kepanitiaan Seminar Nasional Ikatan Mahasiswa Sipil UI. Nah mungkin yang jadi pertanyaan adalah, gimana aku bisa daftar Tripartit lagi? Silakan baca kisahnya..

Setelah seleksi selesai dan para pendaftar yang lolos diumumkan, tiba-tiba ada temanku yang mengundurkan diri. Sekedar ngasih tahu aja, awalnya komposisi peserta Tripartit dari UI itu tiga ke UGM dan tiga ke ITB.
Yang ke UGM itu Maisarah Rizky, Yuliana Sukarmawati, dan Febri.
Tiga yang lain, yang ke ITB, adalah Triananda Pangestu Gusti, Fadhilah Muslim, dan Dwica Wulandari.
Tapi belakangan formasi itu berubah. Yuliana pindah ke ITB karena di UGM nggak ada Jurusan Teknik Lingkungan, Maisa juga akhirnya pindah ke ITB (nggak tahu kenapa, tapi pasti punya alasan sendiri), dan Nanda mengundurkan diri. Nanda ini mundur dari Tripartit karena khawatir nanti mata kuliah ITB nggak cocok dengan kurikulum yang ada di UI. Karena Nanda ini lah akhirnya aku bisa daftar Tripartit (lagi).

Sayang seribu sayang, aku cuma boleh daftar ke UGM karena yang kesana tinggal Febri sendiri. Febri nya juga semangat bujuk aku buat ambil kesempatan ini. Ya aku paham lah, mungkin karena dia belum pernah ke Jogja, jadi agak was-was kalau harus sendirian di sana. (sok jual mahal, padahal sebenarnya aku seneng banget bisa ke Jogja lagi, he he)

Segera aja kutelepon Bapak dan Ibuku satu-satu, minta pendapat. Sebenarnya satu-satunya hal yang buat aku ragu ikut pertukaran pelajar itu ibuku. Kalau aku pergi dari Jakarta, ibuku cuma berdua dengan Mbak Yeni di rumah. Adik kuliah di TE UGM (baru diterima), bapak di Bengkalis, dan aku di Jogja. Nggak tega rasanya. Lha wong aku dulu pengen banget kuliah di UI supaya bisa bersama lagi dengan orang tuaku. Tapi ternyata orang tua merestui. "Oke, daftar," batinku.

Tepat setelah Nanda menyerahkan surat pengunduran diri ke Bu Wiwik Sekretaris Departemen Teknik Sipil UI, aku datang menghadap beliau.
Bu Wiwik cuma tanya, "Kamu serius tidak, ingin mendaftar Tripartit?"
Ya tentu aja kujawab, "Saya benar-benar berminat, Bu. Orangtua juga mengijinkan."
Singkat cerita, Bu Wiwik pun akhirnya kasih aku ijin untuk daftar. Syaratnya,  harus membuat surat persetujuan orang tua, motivation letter, print-out IPK terakhir, dan curriculum vitae yang harus diserahkan hari Senin (waktu itu hari Jumat).

Begitulah, Seninnya aku serahkan surat-surat itu. Waktu itu belum ada jawaban dari Bu Wiwik, aku diterima atau nggak. Hanya saja aku dan teman-teman disuruh bikin rencana mata kuliah yang akan kami ambil di universitas tujuan. Nah ini yang repot, kami harus mendatangi dosen-dosen yang mengajar mata kuliah di semester lima. Bersama dosen, kami telaah silabus UGM & ITB, mencari-cari mata kuliah apa yang kira-kira bisa nge-ganti-in (atau ngganti-in?) kuliah di semester lima UI. Hasilnya? Coba lihat di bawah. 

Mata kuliah yang harusnya aku ambil di Semester 5 UI:

Analisa Struktur, Mekanika Tanah, Teknik Jalan Raya I, Perancangan Infrastruktur Keairan, dan Statika (pengen nyuci)

di UGM jadi:

Analisa Struktur Statis Tak Tentu, Perancangan Geometri Jalan, Dasar Perencanaan Transportasi, Jalan Rel, Hidrologi, Hidraulika Saluran Terbuka, Teknik Sungai, Perencanaan Perkerasan Jalan, Teknik Penyehatan, plus Keselamatan Kerja dan Analisa Resiko (sepuluh mata kuliah O_O ..!!)

Yah, biarpun kuliahnya jadi padat tak terkira, ada untungnya juga. Banyak matkul yang aku sodok lho. Lumayan, lumayan,

Dan inilah akhirnya, aku hadir kembali menyapa masyarakat Jogja (:

pulang ke kotamu
ada setangkup haru
dalam rindu...

18 Agu 2010

Adhyaksa Dault Menegur Mapres se-Indonesia

Lantaran kecewa dengan sikap peserta sarasehan yang kurang menghargai pembicara, Adhyaksa Dault, mantan Menpora pada masa pemerintahan SBY-JK, menegur puluhan mahasiswa berprestasi se-Indonesia di akhir acara Kenduri Kebangsaan pada hari Minggu, 8 Agustus 2010. “Anda harus bisa memperhatikan orang yang berbicara. Kalau tidak, bagaimana Anda bisa mendengarkan suara rakyat? Padahal yang susah disini (mendengar rakyat-red),” ujar beliau.

Teguran beliau memang bisa dipahami mengingat selama tanya jawab berlangsung, peserta sarasehan belum mampu memberikan penghargaan yang pantas kepada para narasumber yang notabene adalah putra-putri terbaik bangsa ini. Mungkin saking antusiasnya peserta membicarakan pertanyaan yang akan diajukan, mereka tidak sadar kalau ternyata ruangan tersebut menjadi gaduh. Acara Kenduri Kebangsaan ini mendatangkan Jusuf Kalla, Taufik Ismail, dan Adhyaksa Dault sebagai narasumber serta Neno Warisman sebagai moderator. Keempat tokoh kenamaan Indonesia ini menyampaikan pandangan, harapan, dan nasihatnya kepada puluhan mahasiswa berprestasi dari seluruh penjuru Indonesia yang mengikuti Indonesia Leadership Camp, 5-9 Agustus 2010.

Dalam uraiannya, Jusuf Kalla, mantan Wakil Presiden yang kini menjabat Ketua Palang Merah Indonesia, mengutarakan bahwa masyarakat Indonesia haruslah menjadi masyarakat yang besar dan adil. Indikatornya adalah rakyat Indonesia makmur, bangsanya bermartabat, dan dihargai. Untuk mencapai itu semua, negeri ini membutuhkan pemimpin yang berkarakter. “Berkarakter itu berarti ia tidak mudah digoyahkan (pandangannya) jika sudah memiliki keyakinan akan suatu kebenaran,” ujar beliau.

Mengamini pandangan Jusuf Kalla, Adhyaksa Dault pun menambahkan bahwa negeri ini harus mampu melahirkan pemimpin yang kuat. “Sholeh saja tidak cukup, karena seorang pemimpin harus berpikir dan bertindak tidak hanya untuk dirinya sendiri, tapi bagi orang-orang yang dipimpinnya,” tegas beliau. Dan untuk menjadi diri yang berkarakter dan kuat, seseorang harus mampu melewati berbagai tahapan dalam mengamban amanah, tidak bisa langsung terbentuk sendiri.

Berbeda dengan narasumber lain yang menyampaikan nasihatnya secara langsung, Taufik Ismail dalam acara tersebut mengikat hati peserta melalui puisi-puisinya. Dalam puisinya, Taufik Ismail menyampaikan keprihatinannya atas kesadaran berbahasa masyarakat Indonesia masa kini. Banyak acara di televisi yang diberi judul berbahasa Inggris, padahal isinya adalah diskusi seputar negeri ini. Bahkan beliau berkata, “Bahasa Indonesia kini terjajah oleh Bahasa Amerika.” Melalui puisinya, Taufik Ismail mengingatkan peserta bahwa kesadaran berbahasa Indonesia adalah suatu bentuk kecintaan negeri yang tidak boleh dilupakan dalam usaha menempa diri menjadi pemimpin.

Acara tersebut tentu saja akan menjadi suatu momen tak terlupakan bagi para mahasiswa berprestasi peserta Indonesia Leadership Camp 2010. Bagaimana panitia mampu menghadirkan narasumber yang luar biasa dan bagaimana mereka mampu menyuguhkan suasana lesehan yang santai untuk membahas materi-materi sepenting itu adalah suatu pencapaian yang wajib diapresiasi oleh siapa pun yang menghadirinya, termasuk Teknika FTUI. Terimakasih panitia, terimakasih para pengisi acara. (lbg)

**tulisan ini versi awal dari artikel yang dikirim ke Teknika FTUI untuk diterbitkan**