Lantaran kecewa dengan sikap peserta sarasehan yang kurang menghargai pembicara, Adhyaksa Dault, mantan Menpora pada masa pemerintahan SBY-JK, menegur puluhan mahasiswa berprestasi se-Indonesia di akhir acara Kenduri Kebangsaan pada hari Minggu, 8 Agustus 2010. “Anda harus bisa memperhatikan orang yang berbicara. Kalau tidak, bagaimana Anda bisa mendengarkan suara rakyat? Padahal yang susah disini (mendengar rakyat-red),” ujar beliau.
Teguran beliau memang bisa dipahami mengingat selama tanya jawab berlangsung, peserta sarasehan belum mampu memberikan penghargaan yang pantas kepada para narasumber yang notabene adalah putra-putri terbaik bangsa ini. Mungkin saking antusiasnya peserta membicarakan pertanyaan yang akan diajukan, mereka tidak sadar kalau ternyata ruangan tersebut menjadi gaduh. Acara Kenduri Kebangsaan ini mendatangkan Jusuf Kalla, Taufik Ismail, dan Adhyaksa Dault sebagai narasumber serta Neno Warisman sebagai moderator. Keempat tokoh kenamaan Indonesia ini menyampaikan pandangan, harapan, dan nasihatnya kepada puluhan mahasiswa berprestasi dari seluruh penjuru Indonesia yang mengikuti Indonesia Leadership Camp, 5-9 Agustus 2010.
Dalam uraiannya, Jusuf Kalla, mantan Wakil Presiden yang kini menjabat Ketua Palang Merah Indonesia, mengutarakan bahwa masyarakat Indonesia haruslah menjadi masyarakat yang besar dan adil. Indikatornya adalah rakyat Indonesia makmur, bangsanya bermartabat, dan dihargai. Untuk mencapai itu semua, negeri ini membutuhkan pemimpin yang berkarakter. “Berkarakter itu berarti ia tidak mudah digoyahkan (pandangannya) jika sudah memiliki keyakinan akan suatu kebenaran,” ujar beliau.
Mengamini pandangan Jusuf Kalla, Adhyaksa Dault pun menambahkan bahwa negeri ini harus mampu melahirkan pemimpin yang kuat. “Sholeh saja tidak cukup, karena seorang pemimpin harus berpikir dan bertindak tidak hanya untuk dirinya sendiri, tapi bagi orang-orang yang dipimpinnya,” tegas beliau. Dan untuk menjadi diri yang berkarakter dan kuat, seseorang harus mampu melewati berbagai tahapan dalam mengamban amanah, tidak bisa langsung terbentuk sendiri.
Berbeda dengan narasumber lain yang menyampaikan nasihatnya secara langsung, Taufik Ismail dalam acara tersebut mengikat hati peserta melalui puisi-puisinya. Dalam puisinya, Taufik Ismail menyampaikan keprihatinannya atas kesadaran berbahasa masyarakat Indonesia masa kini. Banyak acara di televisi yang diberi judul berbahasa Inggris, padahal isinya adalah diskusi seputar negeri ini. Bahkan beliau berkata, “Bahasa Indonesia kini terjajah oleh Bahasa Amerika.” Melalui puisinya, Taufik Ismail mengingatkan peserta bahwa kesadaran berbahasa Indonesia adalah suatu bentuk kecintaan negeri yang tidak boleh dilupakan dalam usaha menempa diri menjadi pemimpin.
Acara tersebut tentu saja akan menjadi suatu momen tak terlupakan bagi para mahasiswa berprestasi peserta Indonesia Leadership Camp 2010. Bagaimana panitia mampu menghadirkan narasumber yang luar biasa dan bagaimana mereka mampu menyuguhkan suasana lesehan yang santai untuk membahas materi-materi sepenting itu adalah suatu pencapaian yang wajib diapresiasi oleh siapa pun yang menghadirinya, termasuk Teknika FTUI. Terimakasih panitia, terimakasih para pengisi acara. (lbg)
**tulisan ini versi awal dari artikel yang dikirim ke Teknika FTUI untuk diterbitkan**
**tulisan ini versi awal dari artikel yang dikirim ke Teknika FTUI untuk diterbitkan**
Good writing mas.
BalasHapusSip2. Lha jebul dah keren banget.
Cuma kok nggak ada yang mampir ngasih komen ya?
Coba promosi mas. Ke temen2 atau via YM dipromosiin. Suruh mereka tinggalkan pesak dan komentar.
Hehe,, punyaku nggak begitu mutu, tapi banyak yang mampir dan nngomen. Wkwkwkwk...
Tersanjung aku Yan. Iya2, aku coba promosikan lebih gencar deh.
BalasHapusMakasih ya