29 Des 2009

Mematangkan Suara Mahasiswa

Hari-hari di Universitas Indonesia akhir-akhir ini sarat dengan proyek-proyek pembangunan yang tak bisa dianggap sepele. Kira-kira setahun yang lalu, saya mulai bisa merasakannya. Di awal semester genap, mahasiswa UI (kampus Depok) diperkenalkan dengan alat transportasi baru yang sangat menarik perhatian, yaitu bus kuning baru ber-AC dan sepeda kuning. Waktu pun berjalan, muncullah pelaksanaan proyek pembangunan gedung Perpustakaan Pusat baru yang direncanakan menjadi yang terbesar di Asia (atau mungkin dunia? Saya lupa). Sementara gedung perpustakaan belum selesai pun, “pemerintah” UI masih menambahkan proyek-proyek lain di kampus ini. Yang saya maksud adalah pembangunan Rumah Sakit dan gedung untuk Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi.


Tentu saja pembangunan-pembangunan fisik semacam ini menghabiskan dana yang luar biasa banyak -setidaknya jika dibandingkan dengan uang bulanan mahasiswa UI- dan juga menuai komentar yang beragam pula. Yang saya angkat di sini adalah, ketidaksetujuan warga UI terhadap pembangunan-pembangunan ini. Tidak sedikit warga UI yang menanyakan ketepatan Rektorat dalam membelanjakan uang yang dimiliki oleh universitas. Mereka beranggapan, tidak ada gunanya menjalankan proyek-proyek fisik yang mahal jika kualitas pendidikan di kampus ini still not meet the needs of university. Tidak ada gunanya perpustakaan yang besar jika warganya sendiri masih belum bisa memanfaatkan perpustakaan yang ada. “Jangan- jangan cuma jadi tempat mahasiswa ngadem”, kata mereka. Ada pula yang mengiyakan bahwa kita butuh pembangunan fisik, tapi bukan dalam bentuk bikun AC, gedung fakultas baru, lapangan parkir yang luas, atau perpustakaan yang megah. Bagi mereka hal-hal seperti itu tidaklah esensial jika dibandingkan dengan kebutuhan akan laboratorium yang memadai.


Kesal? Pasti kita jadi ikut kesal terhadap rektorat ketika komentar-komentar penolakan itu disampaikan langsung ke telinga kita. Tapi apakah kita yakin bahwa kita pantas kesal seperti itu? Apakah kemudian kita pantas mengatakan bahwa rektorat tidak mau melihat kebutuhan warganya? Kita harus berpikir lagi, kawan. Di sini akan saya sampaikan beberapa opini yang akan menuntun kita kepada pemahaman ini.


Pertama, mahasiswa itu, tingkat berapa pun dia, adalah orang baru di universitas. Mahasiswa, adalah komunitas pemuda-pemudi yang selalu, rutin, dan tidak bisa tidak, selalu bertambah setiap tahunnya. Tiap libur semester genap, selalu saja ada orang-orang baru yang datang ke kampus UI, itulah mahasiswa. Ya, kita ini adalah kaum pendatang bagi kampus ini. Bandingkan saja dengan rektor, dekan, dosen, dan staf karyawan di kampus. Dibanding mereka, kita ibarat “anak kemarin sore”. Singkatnya, wajar dong kalau mereka terkesan lebih memegang peranan dalam penentuan arah kebijakan kampus. Lha wong mereka dari dulu udah di kampus.


Kedua, proyek yang dilaksanakan saat ini adalah buah dari kebijakan yang diambil 3 atau bahkan 4 tahun yang lalu. Pertanyaannya, siapa kita ketika “pemerintah” merapatkan rencana pembangunan di kampus ini? Kita bukan siapa-siapa, kawan. Percuma saja kita berteriak hari ini agar proyek pembangunan yang gila-gilaan ini dihentikan esok hari atau pekan depan. Hal ini, pembangunan ini, sudah direncanakan sejak dulu dengan berbagai persiapan yang tentunya tidak mudah.

Ketiga, pernahkah kita menyampaikan kebutuhan kita kepada rektorat sebelumnya? Saat kita berkata bahwa sebenarnya kita tidak butuh ini dan lebih membutuhkan itu, kita tidak dapat meminta rektorat langsung menjawab iya, apalagi langsung melaksanakannya. Hari ini, saat ini, adalah masanya melaksanakan kesepakatan yang dibuat dahulu. Dan ketika kesepakatan dibuat, bukan tidak mungkin mereka merasa suara-suara permintaan dari mahasiswa tidak pernah ada. Semestinya, kita sadar bahwa kebutuhan kita saat ini butuh waktu untuk dapat dipenuhi. Itu wajar...


Dari ketiga opini di atas, saya buat kesimpulan dan saran yang mudah-mudahan dapat digunakan sebagai pertimbangan bagi kita, senior kita, dan junior kita kelak dalam berpartisipasi membangun kampus. Secara pribadi, saya simpulkan bahwa penolakan terhadap proyek-proyek yang sedang berjalan di kampus tidaklah tepat untuk dilaksanakan secara berlebihan. Saran saya, untuk menolak dan meminta pelaksanaan sebuah proyek di kampus, baik fisik maupun non fisik, mahasiswa harus melakukan persiapan yang matang terlebih dahulu. Mahasiswa pun harus memiliki visi untuk universitas ini ke depannya, menyampaikan kebutuhannya, dan mengawasi rencana-rencana yang sedang disusun oleh pengelola kampus. Bagaimanapun, dalam sebuah negara mini ini, pemenuhan segala kebutuhan harus didiskusikan dahulu agar tidak merugikan pihak lain, dan yang penting, semuanya butuh waktu.

18 Des 2009

Konstruksi Sarang Laba-Laba: Kombinasi Struktur Beton dan Tanah


Pondasi yang kuat merupakan kebutuhan bagi setiap bangunan, kita tahu itu. Ibarat fluida, gaya pada struktur dapat ditransfer ke dalam tanah. Pondasi yang tepat dan kuat akan mampu meneruskan gaya yang diterima bangunan ke arah bumi.

Karena letaknya di dalam tanah, pondasi mutlak harus memperhatikan kondisi tanah tempat ia berdiri. Gerakan-gerakan tanah yang mungkin terjadi seperti mengembang, menyusut, tanah yang tidak stabil, hingga gempa bumi tidak boleh dilupakan dalam pembuatan pondasi. Jika ditemukan kondisi tanah kurang baik, seorang kostruktor harus mampu menyiasatinya, baik dengan pondasi yang tepat maupun dengan memberi suatu perlakuan khusus pada tanah itu sendiri.

Ada hal menarik berkaitan dengan “siasat” ini. Adalah dua insinyur Indonesia, Ir. Ir. Ryantori dan Ir. Sutjipto, yang telah berhasil menemukan suatu jenis pondasi yang dapat memadukan pondasi dan tanah menjadi satu kesatuan yang kokoh. Pada tahun 1976, keduanya memperkenalkan pada dunia suatu jenis pondasi baru yang diberi nama Konstruksi Sarang Laba-Laba. Pondasi ini terdiri dari bentuk-bentuk segitiga yang menyatu dan tampak seperti sarang laba-laba. Di tengah bentuk-bentuk segitiga itu diisi perbaikan tanah yang memungkinkan terjadinya kerja sama yang luar biasa antara pondasi dan tanah. Terdiri dari pelat tipis yang diperkaku dengan ribs (rusuk-rusuk), pondasi ini dapat menyebarkan rata semua gaya ke tanah dan mampu menahan gaya lateral akibat gempa.

Dikatakan bahwa pondasi yang termasuk pondasi bangunan bertingkat tanggung ini dapat menghemat biaya sekitar 30% dibandingakn pondasi konvensional (BKSDM PU). Ini terjadi mengingat 90% komponennya adalah tanah. Selain itu, pondasi ini dikatakan mampu menghemat waktu pengerjaan serta merupakan salah satu pekerjaan padat karya yang dapat menyerap tenaga kerja.

Bangunan yang menggunakan pondasi ini terbukti dapat bertahan di tengah bencana gempa. Bahkan dalam buletin BKSDM PU, disebutkan bahwa hampir 100 (seratus) bangunan teruji terhadap bencana gempa bumi hingga 9 pada Skala Richter (SR) dan tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam, Papua, Sumatera Barat, Bengkulu dan sekitarnya.

sumber:
http://bpksdm.pu.go.id/admin/file/Bulletin%20BPKSDM%20Edisi%20Keenam.pdf
http://www.ilustri.org/index.php?option=com_content&view=article&id=90:pondasi-sarang-laba-laba&catid=37:know-how&Itemid=2

12 Des 2009

Masih Mahasiswa

“Mas, nanti rekomendasinya tolong ditembuskan ke saya juga ya.”
Haduh, bapak ini over estimate banget sama mahasiswa. Saya jadi berpikir betapa bagusnya kalau teman-teman juga mendengar harapan Pak Lurah ini.
…..

Selasa siang tanggal 1 Desember 2009, matahari bersinar cukup terik. Pukul 13.00 saya berangkat ke Kantor Kelurahan Beji Timur untuk survey tugas besar mata kuliah ICES (Pengantar Sistem Rekayasa Sipil). Kali ini saya datang sendiri karena teman-teman sekelompok sedang ada jadwal kuliah. Berbeda dengan mereka, setiap hari Selasa saya memang kosong dari pagi sampai sore.
Kira-kira pukul 13.15 saya sudah berada di kantor kelurahan. Hari itu rencananya saya akan pergi dengan salah satu pegawai kelurahan, Pak Rudi, untuk berkeliling melihat kondisi Kelurahan Beji Timur. Menurut janji, seharusnya saya bisa jalan bersama beliau mulai jam 13.30; tapi ternyata sampai jam yang ditentukan, beliau belum datang juga. Saya pun menunggu di ruang tamu kantor kelurahan.
Sambil menunggu, saya ditemani oleh seorang pegawai kelurahan yang lain. Kami pun bincang-bincang sebentar. Pada awalnya, saya diserang dengan pertanyaan-pertanyaan beraroma perkenalan seperti “Dari jurusan mana, Mas?” atau “Ini untuk tugas apa ya?” Setelah cukup diinterogasi, saya pun mulai menyusun serangan balasan dengan bertanya pada bapak pegawai kelurahan ini. Sambil memegang majalah Warta Depok, saya mulai bertanya, “Ini terbit bulanan ya Pak?” lalu “Sepertinya setiap kelurahan diberi majalah ya, Pak?”. Sedikit demi sedikit kami mulai saling bersahut-sahutan. Lumayanlah, memberi kesan ramah kepada tuan rumah. Sampai saat terkutuk itu tiba...
Ketika itu saya sedang meneruskan pertanyaan saya dengan bertanya, “Pak, buku-buku di perpustakaan ini dari mana saja? Kelihatannya masih bagus?” Lalu bapak ini menjawab, “Dari provinsi, biasanya yang aktif memberi itu provinsi...” Belum selesai bapak itu bercerita, tiba-tiba mata saya jadi kabur dan kepala saya jatuh ke bawah ('O'). Sial sekali, saya tertidur di saat seperti itu..! ZZZ...ZZ...
Luar biasa, kantuk yang menyerang saya tidak bisa saya tahan. Semilir angin di kantor kelurahan terlalu lembut untuk diabaikan. Mungkin karena lapar, atau mungkin karena kelelahan bawa barang bawaan di tas (botol minum, kaos, aqua, rompi, dll.) saya pun akhirnya tumbang juga. Parah..
…..

Tidak lama setelah itu saya terbangun oleh suara seorang bapak yang berteriak, “Pak Rudi, ke sini Pak. Ada yang nyari ini dari UI.”
Plek, mata saya terbuka. Ternyata di sebelah saya bukan lagi bapak-bapak yang menemani saya tadi. Karena saya belum “nyambung nyawa”, saya tidak menyadari hal ini. Sekejap Pak Rudi mendatangi saya, bersalaman, dan bercerita sebentar tentang rencana hari ini. “Siap Pak,” sahut saya. Saya pun siap-siap berangkat. Tapi sebelum berangkat tiba-tiba Pak Rudi berkata, “Kenalkan Mas, ini Pak Lurah,” sambil mengarahkan kelima jarinya ke arah bapak-bapak yang dari tadi ada di depan saya. Wuua.. Salah tingkah saya, ternyata dari tadi saya tertidur di depan Pak Lurah dengan pose yang nggak oke (kebiasaan, kepala selalu menengadah kalau tidur sambil duduk).
Setelah minta maaf pada Pak Lurah dan sedikit berbincang, saya pun berangkat bersama Pak Rudy untuk kelililng kelurahan.
…..

Berboncengan, saya dan Pak Rudi mengelilingi Kelurahan Beji Timur untuk melihat kondisi drainase dan sistem bangunan di daerah itu. Dengan pengetahuannya yang lengap tentang kelurahan, survey ini jadi terasa ringan. Nggak hanya lewat pengamatan saja, data yang saya dapat juga berasal dari hasil obrolan saya dengan Pak Rudi. Malah, kadang Pak Rudi berhenti di pinggir jalan untuk sekedar menyapa warga di sana dan menanyakan langsung kondisi bangunan dan drainase di daerah itu. Ada kekurangannya juga cara ini. Saya jadi agak kagok. Kadang-kadang warga bercerita dengan menambahkan harapan-harapan, seakan-akan kelompok ICES kami adalah petugas yang diutus Pemda untuk menyelesaikan masalah di Beji Timur. Padahal saya masih mahasiswa. Eh, jangan-jangan penyebabnya warna kemeja saya yang coklat dan mirip seragam Pak Rudi?
…..

Dari kegiatan jalan-jalan ini, saya dapat katakan bahwa Beji Timur itu wilayah yang cukup padat. Memang, di tepi jalan utama kelurahan ini, rumah yang ada cukup bagus dan tertata rapi. Tapi jika kita masuk ke dalam lagi, kita akan menemukan daerah-daerah yang rumahnya saling berhimpit satu sama lain. Sebuah hal yang patut dicatat untuk laporan saya tentang sistem bangunan.
Di beberapa daerah, elevasinya sangat rendah. Terlihat perbedaan yang cukup mencolok antara ketinggian jalan di jalan utama kelurahan dengan elevasi daerah yang saya datangi. Tempat ini, menurut warga, sudah menjadi langganan banjir. Memang, tempat-tempat rawan banjir ini berada di tepi kali yang merupakan saluran pengumpul dari drainase di tiga kelurahan lain. Meski kalinya dalam, kira-kira 3 m, air masih bisa meluap.
Perjalanan kami lanjutkan ke bagian tepi kelurahan, menyusuri pagar pembatas kelurahan dengan Poltek UI. Di sini saya mengamati saluran akhir dari kali yang saya lihat tadi. Nggak proporsional banget, di ujung ini ternyata kedalaman dan lebar salurannya justru lebih sempit daripada kali yang ada di kelurahan. Bahkan tanaman yang merambat di pagar pembatas kelihatan menghalangi aliran air saat hujan. Sedikit demi sedikit dapatlah saya petunjuk masalah banjir di Beji Timur ini.
…..

Pukul 14.45, saya kembali lagi ke kantor kelurahan. Kali ini suasana di kantor sudah terlihat sepi. Pegawai-pegawai yang tadinya terlihat duduk di meja-meja pelayanan sudah tidak ada lagi.
“Silakan di minum, Mas,” kata Pak Rudi sambil menawarkan teh hangat kepada saya. “Gimana kesimpulannya? Kalau saya lihat sih masalah banjir di Beji Timur itu karena kali di ujung, yang menuju danau UI, kurang lebar. Masnya lihat sendiri kan tadi,” ungkap Pak Rudi. Ditanya begitu, saya pun menjawab dengan pendapat pribadi yang saya dapat secara spontan setelah berkeliling tadi.
Setelah habis obrolan kami, saya pun ijin untuk kembali ke kampus. Eh, ternyata saya disuruh mengahadap dulu ke Pak Lurah. Wah, Pak Lurah pulang lebih sore dari pegawainya, hebat, pikir saya. Masuk ke ruangannya, beliau pun menyatakan terima kasihnya karena sudah mau melihat kondisi kelurahan dan membantu menyelesaikan masalah di sana. Biasa lah, saya pun menjawab dengan cara-cara khas yang sopan untuk membalas pujian Pak Lurah ini. Selesai, saya pun bersalaman dan undur diri. Eh, Pak Lurah tiba-tiba bicara, “Mas, nanti rekomendasinya tolong ditembuskan ke saya juga ya.” Haduh, bapak ini over estimate banget sama mahasiswa. Saya jadi berpikir betapa bagusnya kalau teman-teman juga mendengar harapan Pak Lurah ini. Rasanya permintaan ini nggak pantas banget saya terima sendirian.
Menjawab permintaan beliau, saya pun nyengenges, “Iya Pak, insyaAllah kami sampaikan nanti.”

Begitulah, saya pun lalu mengambil motor dan kembali ke kampus untuk responsi Statika. Sepandai-pandainya mahasiswa keliling kelurahan, akhirnya balik ke kampus juga.
…..

Pelajaran yang saya dapat dari pengalaman ini adalah:
Pertama, mahasiswa, sebagai generasi intelek bangsa, harus selalu siap untuk turun ke masyarakat dan membantu. Ini agak susah buat saya. Kadang saya ingin dikasih predikat “masih mahasiswa” supaya bisa agak santai, tapi harus siap juga disebut “udah mahasiswa” karena kewajiban menunggu di depan mata.
Kedua, sebagai pemimpin, kita harus rela berkorban lebih daripada yang kita pimpin. Hal ini saya contoh dari Pak Lurah yang pulang paling sore.
Dan yang terakhir, segera balas kesalahan dengan cara yang baik. Karena sudah tidak sopan tidur di ruang tamu, saya langsung minta maaf dan mengajak Pak Lurah ngobrol supaya akrrab.