Hari-hari di Universitas Indonesia akhir-akhir ini sarat dengan proyek-proyek pembangunan yang tak bisa dianggap sepele. Kira-kira setahun yang lalu, saya mulai bisa merasakannya. Di awal semester genap, mahasiswa UI (kampus Depok) diperkenalkan dengan alat transportasi baru yang sangat menarik perhatian, yaitu bus kuning baru ber-AC dan sepeda kuning. Waktu pun berjalan, muncullah pelaksanaan proyek pembangunan gedung Perpustakaan Pusat baru yang direncanakan menjadi yang terbesar di Asia (atau mungkin dunia? Saya lupa). Sementara gedung perpustakaan belum selesai pun, “pemerintah” UI masih menambahkan proyek-proyek lain di kampus ini. Yang saya maksud adalah pembangunan Rumah Sakit dan gedung untuk Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi.
Tentu saja pembangunan-pembangunan fisik semacam ini menghabiskan dana yang luar biasa banyak -setidaknya jika dibandingkan dengan uang bulanan mahasiswa UI- dan juga menuai komentar yang beragam pula. Yang saya angkat di sini adalah, ketidaksetujuan warga UI terhadap pembangunan-pembangunan ini. Tidak sedikit warga UI yang menanyakan ketepatan Rektorat dalam membelanjakan uang yang dimiliki oleh universitas. Mereka beranggapan, tidak ada gunanya menjalankan proyek-proyek fisik yang mahal jika kualitas pendidikan di kampus ini still not meet the needs of university. Tidak ada gunanya perpustakaan yang besar jika warganya sendiri masih belum bisa memanfaatkan perpustakaan yang ada. “Jangan- jangan cuma jadi tempat mahasiswa ngadem”, kata mereka. Ada pula yang mengiyakan bahwa kita butuh pembangunan fisik, tapi bukan dalam bentuk bikun AC, gedung fakultas baru, lapangan parkir yang luas, atau perpustakaan yang megah. Bagi mereka hal-hal seperti itu tidaklah esensial jika dibandingkan dengan kebutuhan akan laboratorium yang memadai.
Kesal? Pasti kita jadi ikut kesal terhadap rektorat ketika komentar-komentar penolakan itu disampaikan langsung ke telinga kita. Tapi apakah kita yakin bahwa kita pantas kesal seperti itu? Apakah kemudian kita pantas mengatakan bahwa rektorat tidak mau melihat kebutuhan warganya? Kita harus berpikir lagi, kawan. Di sini akan saya sampaikan beberapa opini yang akan menuntun kita kepada pemahaman ini.
Pertama, mahasiswa itu, tingkat berapa pun dia, adalah orang baru di universitas. Mahasiswa, adalah komunitas pemuda-pemudi yang selalu, rutin, dan tidak bisa tidak, selalu bertambah setiap tahunnya. Tiap libur semester genap, selalu saja ada orang-orang baru yang datang ke kampus UI, itulah mahasiswa. Ya, kita ini adalah kaum pendatang bagi kampus ini. Bandingkan saja dengan rektor, dekan, dosen, dan staf karyawan di kampus. Dibanding mereka, kita ibarat “anak kemarin sore”. Singkatnya, wajar dong kalau mereka terkesan lebih memegang peranan dalam penentuan arah kebijakan kampus. Lha wong mereka dari dulu udah di kampus.
Kedua, proyek yang dilaksanakan saat ini adalah buah dari kebijakan yang diambil 3 atau bahkan 4 tahun yang lalu. Pertanyaannya, siapa kita ketika “pemerintah” merapatkan rencana pembangunan di kampus ini? Kita bukan siapa-siapa, kawan. Percuma saja kita berteriak hari ini agar proyek pembangunan yang gila-gilaan ini dihentikan esok hari atau pekan depan. Hal ini, pembangunan ini, sudah direncanakan sejak dulu dengan berbagai persiapan yang tentunya tidak mudah.
Ketiga, pernahkah kita menyampaikan kebutuhan kita kepada rektorat sebelumnya? Saat kita berkata bahwa sebenarnya kita tidak butuh ini dan lebih membutuhkan itu, kita tidak dapat meminta rektorat langsung menjawab iya, apalagi langsung melaksanakannya. Hari ini, saat ini, adalah masanya melaksanakan kesepakatan yang dibuat dahulu. Dan ketika kesepakatan dibuat, bukan tidak mungkin mereka merasa suara-suara permintaan dari mahasiswa tidak pernah ada. Semestinya, kita sadar bahwa kebutuhan kita saat ini butuh waktu untuk dapat dipenuhi. Itu wajar...
Dari ketiga opini di atas, saya buat kesimpulan dan saran yang mudah-mudahan dapat digunakan sebagai pertimbangan bagi kita, senior kita, dan junior kita kelak dalam berpartisipasi membangun kampus. Secara pribadi, saya simpulkan bahwa penolakan terhadap proyek-proyek yang sedang berjalan di kampus tidaklah tepat untuk dilaksanakan secara berlebihan. Saran saya, untuk menolak dan meminta pelaksanaan sebuah proyek di kampus, baik fisik maupun non fisik, mahasiswa harus melakukan persiapan yang matang terlebih dahulu. Mahasiswa pun harus memiliki visi untuk universitas ini ke depannya, menyampaikan kebutuhannya, dan mengawasi rencana-rencana yang sedang disusun oleh pengelola kampus. Bagaimanapun, dalam sebuah negara mini ini, pemenuhan segala kebutuhan harus didiskusikan dahulu agar tidak merugikan pihak lain, dan yang penting, semuanya butuh waktu.
Tentu saja pembangunan-pembangunan fisik semacam ini menghabiskan dana yang luar biasa banyak -setidaknya jika dibandingkan dengan uang bulanan mahasiswa UI- dan juga menuai komentar yang beragam pula. Yang saya angkat di sini adalah, ketidaksetujuan warga UI terhadap pembangunan-pembangunan ini. Tidak sedikit warga UI yang menanyakan ketepatan Rektorat dalam membelanjakan uang yang dimiliki oleh universitas. Mereka beranggapan, tidak ada gunanya menjalankan proyek-proyek fisik yang mahal jika kualitas pendidikan di kampus ini still not meet the needs of university. Tidak ada gunanya perpustakaan yang besar jika warganya sendiri masih belum bisa memanfaatkan perpustakaan yang ada. “Jangan- jangan cuma jadi tempat mahasiswa ngadem”, kata mereka. Ada pula yang mengiyakan bahwa kita butuh pembangunan fisik, tapi bukan dalam bentuk bikun AC, gedung fakultas baru, lapangan parkir yang luas, atau perpustakaan yang megah. Bagi mereka hal-hal seperti itu tidaklah esensial jika dibandingkan dengan kebutuhan akan laboratorium yang memadai.
Kesal? Pasti kita jadi ikut kesal terhadap rektorat ketika komentar-komentar penolakan itu disampaikan langsung ke telinga kita. Tapi apakah kita yakin bahwa kita pantas kesal seperti itu? Apakah kemudian kita pantas mengatakan bahwa rektorat tidak mau melihat kebutuhan warganya? Kita harus berpikir lagi, kawan. Di sini akan saya sampaikan beberapa opini yang akan menuntun kita kepada pemahaman ini.
Pertama, mahasiswa itu, tingkat berapa pun dia, adalah orang baru di universitas. Mahasiswa, adalah komunitas pemuda-pemudi yang selalu, rutin, dan tidak bisa tidak, selalu bertambah setiap tahunnya. Tiap libur semester genap, selalu saja ada orang-orang baru yang datang ke kampus UI, itulah mahasiswa. Ya, kita ini adalah kaum pendatang bagi kampus ini. Bandingkan saja dengan rektor, dekan, dosen, dan staf karyawan di kampus. Dibanding mereka, kita ibarat “anak kemarin sore”. Singkatnya, wajar dong kalau mereka terkesan lebih memegang peranan dalam penentuan arah kebijakan kampus. Lha wong mereka dari dulu udah di kampus.
Kedua, proyek yang dilaksanakan saat ini adalah buah dari kebijakan yang diambil 3 atau bahkan 4 tahun yang lalu. Pertanyaannya, siapa kita ketika “pemerintah” merapatkan rencana pembangunan di kampus ini? Kita bukan siapa-siapa, kawan. Percuma saja kita berteriak hari ini agar proyek pembangunan yang gila-gilaan ini dihentikan esok hari atau pekan depan. Hal ini, pembangunan ini, sudah direncanakan sejak dulu dengan berbagai persiapan yang tentunya tidak mudah.
Ketiga, pernahkah kita menyampaikan kebutuhan kita kepada rektorat sebelumnya? Saat kita berkata bahwa sebenarnya kita tidak butuh ini dan lebih membutuhkan itu, kita tidak dapat meminta rektorat langsung menjawab iya, apalagi langsung melaksanakannya. Hari ini, saat ini, adalah masanya melaksanakan kesepakatan yang dibuat dahulu. Dan ketika kesepakatan dibuat, bukan tidak mungkin mereka merasa suara-suara permintaan dari mahasiswa tidak pernah ada. Semestinya, kita sadar bahwa kebutuhan kita saat ini butuh waktu untuk dapat dipenuhi. Itu wajar...
Dari ketiga opini di atas, saya buat kesimpulan dan saran yang mudah-mudahan dapat digunakan sebagai pertimbangan bagi kita, senior kita, dan junior kita kelak dalam berpartisipasi membangun kampus. Secara pribadi, saya simpulkan bahwa penolakan terhadap proyek-proyek yang sedang berjalan di kampus tidaklah tepat untuk dilaksanakan secara berlebihan. Saran saya, untuk menolak dan meminta pelaksanaan sebuah proyek di kampus, baik fisik maupun non fisik, mahasiswa harus melakukan persiapan yang matang terlebih dahulu. Mahasiswa pun harus memiliki visi untuk universitas ini ke depannya, menyampaikan kebutuhannya, dan mengawasi rencana-rencana yang sedang disusun oleh pengelola kampus. Bagaimanapun, dalam sebuah negara mini ini, pemenuhan segala kebutuhan harus didiskusikan dahulu agar tidak merugikan pihak lain, dan yang penting, semuanya butuh waktu.