Suatu hari, seorang anak laki-laki bergoyang di tengah keramaian penumpang KRL Jakarta-Depok. Usianya sekitar enam sampai tujuh tahun dan terlihat menggemaskan dengan pipi gembul ditambah joget yang ala kadarnya, maju mundur mengikuti lagu. Melihat hal seperti ini, tidak tahan rasanya untuk tidak tersenyum.
Meski lucu, ada yang beda dengan anak ini. Dia bergoyang bukan hanya karena senang, tapi juga karena sedang bekerja. Di belakangnya, seorang wanita -mungkin ibunya- mengikuti dengan mesin karaoke kecil di tangan. Sambil tersenyum, si ibu sesekali menunduk dan tersenyum kepada penumpang kereta yang memberi uang pada anaknya.
Sedih rasanya melihat anak sekecil itu harus membantu orang tuanya mencari uang. Dirinya yang masih polos dan belum mengenal kerasnya hidup hanya bisa bergoyang menemani ibunya yang bekerja. Baginya, setiap goyangan adalah penghormatan pada sang ibu yang telah bernyanyi pada penumpang kereta. Namun mungkin bagi sang ibu, anaknya telah memberi lebih dari itu, ia telah membantu ibunya mencari uang sekedar untuk menjaga dapur tetap berasap.
Saya termasuk beruntung karena tidak melewati masa kecil seperti si anak ini. Jika dahulu saya sering diajak bepergian sambil dipamerkan pada teman-teman orangtua saya, anak ini justru harus melihat ibunya bekerja keras di tengah keramaian kereta. Sayangnya saya sering lupa dari mana rezeki ini datang. Meski sudah sering dicontohkan, kadang untuk melepaskan sekeping uang pada saudara-saudara yang kurang beruntung saya masih enggan. Banyak alasan telah mengeraskan hati ini.
Duhai anak kecil yang meminta receh pada orang-orang, semoga hidupmu selalu barokah meski tidak seindah anak-anak lain.
Ya Allah, ampuni diriku yang lemah ini. Jadikan aku menjadi orang yang bermanfaat bagi diriku dan orang-orang di sekitarku, jangan biarkan aku sia-siakan nikmatmu. amin