Mungkin benar kata Pak Balian dalam novel Sang Pemimpi, hidup itu merupakan kumpulan mozaik-mozaik kehidupan dan pantaslah kalau kita mengejar kepingan mozaik itu hingga ke ujung dunia. Hanya ingin sedikit berbagi, di sini akan saya tuliskan kesan saya terhadap suatu nasihat yang saya peroleh dahulu dan baru saya rasakan manfaatnya saat ini.
Alkisah, dulu, ketika masih menjadi siswa SMA Negeri 1 Yogyakarta, saya bergabung dengan TSC (KIR SMA 1). Di wadah ini saya bertemu dengan orang-orang yang ternyata, secara tidak sadar, memegang “mozaik kehidupan” saya.
To the point, di akhir-akhir masa belajar saya di SMA 1, TSC mengadakan sebuah acara kumpul-kumpul yang dihadiri oleh angkatan 2009, 2008, dan alumni. Waktu itu siang hari, matahari terik menyinari Jogja. Saya sendiri datang terlambat, tepat di tengah hari karena baru saja tiba dari daerah Merapi, menyampaikan amanah dari sekolah untuk warga di sana. Untungnya, saya masih kebagian acara bincang-bincang yang dipandu oleh Mas Ro'is, alumni TSC.
Mas Ro'is ternyata tidak ingin mendominasi acara. Ia pun meminta kami secara bergiliran menceritakan pengalaman kami selama setengah hari. Namun di sini ia minta kita untuk bercerita secara sukarela. Selama beberapa menit, tidak ada yang bersedia menjadi yang pertama. Lalu Mas Ro'is pun menceritakan betapa berharganya seorang pioneer itu. Sedikit ringkasan akan saya tulis di sini.
Beliau mengatakan bahwa menjadi pioneer itu berat karena harus memulai sesuatu dari nol. Tidak ada panduan, tidak ada contoh. Tapi melakukan sesuatu yang baru, yang belum dilakukan oleh orang lain, adalah hal yang sangat berharga. Dan karenanya, setiap perintis, orang yang memulai, selalu mendapat penghargaan lebih.
Lalu teman saya, Bimo, mengangkat tangannya dan memberanikan diri menjadi seorang perintis. Ia pun bercerita mengenai pengalamannya selama setengah hari. Selesai, kami pun menunggu lagi untuk mendengar cerita berikutnya. Ternyata adanya orang yang memulai tidak otomatis membuat kami berani mengangkat tangan.
Lagi, Mas Ro'is pun bercerita, dan asal tahu saja, ini hal baru yang akan selalu saya ingat. Beliau bilang, menjadi pengikut yang baik, menjadi nomor dua itu, tidak kalah susahnya dengan menjadi nomor satu. Orang itu harus berpikir untuk melakukan sesuatu lebih baik dari pendahulunya. Belum lagi kadang akan ada konflik batin karena ia khawatir akan disebut orang yang suka ikut-ikutan. Maka, beliau mengatakan, beruntunglah orang yang memberanikan diri menjadi nomor dua. Dahsyat nggak, teman-teman?
Setelah itu, teman-teman berlomba untuk menjadi nomor dua. Kami menawarkan diri masing-masing untuk bercerita.
…..
Benarlah kata Mas Ro'is itu. Kalau kita nggak berani menjadi nomor dua, kita nggak akan berkembang. Kita akan gengsi mengikuti kebaikan orang lain, nggak akan berani mendapat prestasi lebih dari orang itu. Asal tahu saja, pujian dosen terhadap mahasiswa yang aktif itu, diberikan tidak hanya bagi yang pertama kali bertanya, tapi juga pada semua mahasiswa. Jadi, ayo kita berlomba menjadi yang nomor satu dan tidak perlu ragu untuk menjadi yang nomor dua.